By Kartikaning Harnung (absen 17)
A. Mengenal Akulturasi
Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu
kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu
kebudayaan asing. Dan kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah
dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan
kelompok itu sendiri.
Akulturasi merupakan sebuah istilah dalam ilmu Sosiologi yang
berarti proses pengambil alihan unsur-unsur (sifat) kebudayaan lain oleh sebuah
kelompok atau individu. Adalah suatu hal yang menarik ketika melihat dan
mengamati proses akulturasi tersebut sehingga nantinya secara evolusi menjadi
Asimilasi (meleburnya dua kebudayaan atau lebih, sehingga menjadi satu
kebudayaan). Menariknya dalam melihat dan mengamati proses akulturasi
dikarenakan adanya Deviasi Sosiopatik seperti mental disorder yang
menyertainya. Hal tersebut dirasa sangat didukung faktor kebutuhan, motivasi
dan lingkungan yang menyebabkan seseorang bertingkah laku.
Akulturasi budaya dapat terjadi karena keterbukaan suatu komunitas
masyarakat akan mengakibatkan kebudayaan yang mereka miliki akan terpengaruh
dengan kebudayaan komunitas masyarakat lain. Selain keterbukaan masyarakatnya,
perubahan kebudayaan yang disebabkan “perkawinan“ dua kebudayaan bisa juga
terjadi akibat adanya pemaksaan dari masyarakat asing memasukkan unsur
kebudayaan mereka. Akulturasi budaya bisa juga terjadi karena kontak dengan
budaya lain, system pendidikan yang maju yang mengajarkan seseorang untuk lebih
berfikir ilmiah dan objektif, keinginan untuk maju, sikap mudah menerima
hal-hal baru dan toleransi terhadap perubahan.
Contoh-contoh dari hasil akulturasi budaya sangat beraneka ragam.
Dalam bidang kesenian, arsitektur, agama dan lain-lain.
B. Islam, Bias Arabisme dan
Akulturasi Timbal Balik dengan Budaya Lokal
Walaupun Islam sebagai agama bersifat universal yang menembus
batas-batas bangsa, ras, klan dan peradaban, tak bisa dinapikan bahwa unsur
Arab mempunyai beberapa keistimewaan dalam Islam. Ada hubungan kuat yang
mengisyaratkan ketiadaan kontradiksi antara Islam sebagai agama dengan unsur
Arab. Menurut Dr. Imarah, hal ini bisa dilihat dari beberapa hal :
Pertama, Islam diturunkan kepada Muhammad bin Abdullah, seorang
Arab. Juga, mukjizat terbesar agama ini, al-Quran, didatangkan dengan bahasa
Arab yang jelas (al-Mubin), yang dengan ketinggian sastranya dapat mengungguli
para sastrawan terkemuka Arab sepanjang sejarah. Sebagaimana memahami dan
menguasai al-Quran sangat sulit dengan bahasa apapun selain Arab. Implikasinya,
Islam menuntut pemeluknya jika ingin menyelami dan mendalami makna kandungan
al-Quran, maka hendaknya mengarabkan diri. Kedua, dalam menyiarkan dakwah Islam
yang universal, bangsa Arab berada di garda depan, dengan pimpinan kearaban
Nabi dan al-Quran, kebangkitan realita Arab dari segi "sebab turunnya
wahyu" dengan peran sebagai buku catatan interpretatif terhadap al-Qur'an
dan lokasi dimulainya dakwah di jazirah Arab sebagai "peleton pertama
terdepan" di barisan tentara dakwahnya.Ketiga, jika agama-agama terdahulu
mempunyai karakteristik yang sesuai dengan konsep Islam lokal, kondisional dan
temporal, pada saat Islam berkarakteristikkan universal dan mondial, maka
posisi mereka sebagai "garda terdepan" agama Islam adalah menembus batas
wilayah mereka.
Walaupun begitu, menurut pengamatan Ibnu Khaldun, seorang sosiolog
dan sejarawan muslim terkemuka, bahwa di antara hal aneh tapi nyata bahwa
mayoritas ulama dan cendekiawan dalam agama Islam adalah 'ajam (non Arab), baik
dalam ilmu-ilmu syari'at maupun ilmu-ilmu akal. Kalau toh diantara mereka orang
Arab secara nasab, tetapi mereka 'ajam dalam bahasa, lingkungan pendidikan dan
gurunya.
Lebih lanjut, Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa bersamaan dengan
meluasnya daerah Islam, muncullah banyak masalah dan bid'ah, bahasa Arab sudah
mulai terpolusikan, maka dibutuhkan kaidah-kaidah Nahwu. Ilmu-ilmu syari'at
menjadi keterampilan atau keahlian istinbath, deduktif, teoritisasi dan
analogi. Ia membutuhkan ilmu-ilmu pendukung yang menjadi cara-cara dan
metode-metode berupa pengetahuan undang-undang bahasa Arab dan aturan-aturan
istinbath, qiyas yang diserap dari aqidah-aqidah keimanan berikut
dalil-dalilnya, karena saat itu muncul
bid'ah-bid'ah dan ilhad (atheisme). Maka jadilah ilmu-ilmu ini
semua ilmu-ilmu keterampilan yang membutuhkan pengajaran. Hal ini masuk dalam
golongan komoditi industri, dan sebagaimana telah dijelaskan, bahwa komoditi
industri adalah peradaban orang kota sedangkan orang Arab adalah sangat jauh
dari hal ini. Ibnu Khaldun menyebutkan, intelektual-intelektual yang mempunyai
kontribusi sangat besar dalam ilmu Nahwu seperti Imam Sibawaih, al-Farisi, dan
al-Zujjaj. Mereka semua adalah 'ajam. Begitu juga intelektual-intelektual dalam
bidang hadits, ushul fiqih, ilmu kalam dan tafsir. Benarlah sabda Rasulullah;
"Jika saja ilmu digantungkan diatas langit, maka akan diraih oleh
orang-orang dari Persia".
Kita lihat juga bahwa budaya Persia; budaya yang pernah jaya dan
saat Islam masuk; ia sedang menyusut, adalah memiliki pengaruh yang demikian
dalam, luas, dinamis dan kreatif terhadap perkembangan peradaban Islam. Lihat
saja al-Ghazali, meskipun ia kebanyakan menulis dalam bahasa Arab sesuai
konvesi besar kesarjanaan saat itu, ia juga menulis beberapa buku dalam bahasa
Persi. Lebih dari itu, dalam menjabarkan berbagai ide dan argumennya, dalam
menandaskan mutlaknya nilai keadilan ditegakkan oleh para penguasa, ia menyebut
sebagai contoh pemimpin yang adil itu tidak hanya Nabi saw dan para khalifah
bijaksana khususnya Umar bin Khattab, tetapi juga Annushirwan, seorang raja
Persia dari dinasti Sasan.
Menarik untuk diketengahkan juga walaupun saat ini Persia atau
Iran menjadikan Syiah sebagai madzhab, namun lima dari penulis kumpulan hadits
Sunni dan Kutub as-Sittah berasal dari Persia. Mereka adalah Imam Bukhari, Imam
Muslim al-Naisaburi, Imam Abu Dawud al-Sijistani, Imam al Turmudzi dan Imam
al-Nasai.
Dari paparan di atas, menunjukkan kepada kita betapa kebudayaan
dan peradaban Islam dibangun diatas kombinasi nilai ketaqwaan, persamaan dan
kreatifitas dari dalam diri Islam yang universal dengan akulturasi timbal balik
dari budaya-budaya lokal luar Arab yang terislamkan. Pun tidak hendak
mempertentangkan antara Arab dan non Arab. Semuanya tetap bersatu dalam label
"muslim".
"Yang terbaik dan termulia adalah yang paling taqwa".
"yang paling suci, yang paling banyak dan ikhlas kontribusi
amal-nya untuk kemulian Islam".
C. Akulturasi Islam dengan Budaya
di Indonesia
Seperti di kemukakan di atas, Islam adalah agama yang
berkarakteristikkan universal, dengan pandangan hidup (weltanchaung) mengenai
persamaan, keadilan, takaful, kebebasan dan kehormatan serta memiliki konsep
teosentrisme yang humanistik sebagai nilai inti (core value) dari seluruh
ajaran Islam, dan karenanya menjadi tema peradaban Islam.
Pada saat yang sama, dalam menerjemahkan konsep-konsep langitnya
ke bumi, Islam mempunyai karakter dinamis, elastis dan akomodatif dengan budaya
lokal, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam itu sendiri.
Permasalahannya terletak pada tata cara dan teknis pelaksanaan. Inilah yang
diistilahkan Gus Dur dengan "pribumisasi Islam".
Upaya rekonsiliasi memang wajar antara agama dan budaya di
Indonesia dan telah dilakukan sejak lama serta bisa dilacak bukti-buktinya.
Masjid Demak adalah contoh konkrit dari upaya rekonsiliasi atau akomodasi itu.
Ranggon atau atap yang berlapis pada masa tersebut diambil dari konsep 'Meru'
dari masa pra Islam (Hindu-Budha) yang terdiri dari sembilan susun. Sunan
Kalijaga memotongnya menjadi tiga susun saja, hal ini melambangkan tiga tahap
keberagamaan seorang muslim; iman, Islam dan ihsan. Pada mulanya, orang baru
beriman saja kemudian ia melaksanakan Islam ketika telah menyadari pentingnya
syariat. Barulah ia memasuki tingkat yang lebih tinggi lagi (ihsan) dengan
jalan mendalami tasawuf, hakikat dan makrifat.. Hal ini berbeda dengan Kristen
yang membuat gereja dengan arsitektur asing, arsitektur Barat. Kasus ini
memperlihatkan bahwa Islam lebih toleran terhadap budaya lokal. Budha masuk ke
Indonesia dengan membawa stupa, demikian juga Hindu. Islam, sementara itu tidak
memindahkan simbol-simbol budaya Islam Timur Tengah ke Indonesia. Hanya
akhir-akhir ini saja bentuk kubah disesuaikan. Dengan fakta ini, terbukti bahwa
Islam tidak anti budaya. Semua unsur budaya dapat disesuaikan dalam Islam.
Pengaruh arsitektur India misalnya, sangat jelas terlihat dalam
bangunan-bangunan mesjidnya, demikian juga pengaruh arsitektur khas
mediterania. Budaya Islam memiliki begitu banyak varian.
Yang patut diamati pula, kebudayaan populer di Indonesia banyak
sekali menyerap konsep-konsep dan simbol-simbol Islam, sehingga seringkali
tampak bahwa Islam muncul sebagai sumber kebudayaan yang penting dalam
kebudayaan populer di Indonesia.
Kosakata bahasa Jawa maupun Melayu banyak mengadopsi konsep-konsep
Islam. Taruhlah, dengan mengabaikan istilah-istilah kata benda yang banyak
sekali dipinjam dari bahasa Arab, bahasa Jawa dan Melayu juga menyerap
kata-kata atau istilah-istilah yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan.
Istilah-istilah seperti wahyu, ilham atau wali misalnya, adalah istilah-istilah
pinjaman untuk mencakup konsep-konsep baru yang sebelumnya tidak pernah dikenal
dalam khazanah budaya populer.
Dalam hal penggunaan istilah-istilah yang diadopsi dari Islam,
tentunya perlu membedakan mana yang "Arabi-sasi", mana yang
"Islamisasi". Penggunaan dan sosialisasi terma-terma Islam sebagai
manifestasi simbolik dari Islam tetap penting dan signifikan serta bukan
seperti yang dikatakan Gus Dur, menyibukkan dengan masalah-masalah semu atau hanya
bersifat pinggiran. Begitu juga penggunaan term shalat sebagai ganti dari
sembahyang (berasal dari kata 'nyembah sang Hyang') adalah proses Islamisasi
bukannya Arabisasi. Makna substansial dari shalat mencakup dimensi
individual-komunal dan dimensi peribumisasi nilai-nilai substansial ini ke alam
nyata. Adalah naif juga mengganti salam Islam "Assalamu'alaikum"
dengan "Selamat Pagi, Siang, Sore ataupun Malam". Sebab esensi doa
dan penghormatan yang terkandung dalam salam tidak terdapat dalam ucapan
"Selamat Pagi" yang cenderung basa-basi, selain salam itu sendiri
memang dianjurkan oleh Allah swt dan Rasul-Nya.
D. Macam-macam Bentuk Akulturasi
Islam dengan Budaya Indonesia
· Seni bangunan
1. Masjid
Memiliki ciri-ciri yaitu,
a) Atap yang berupa segitiga yang
berjumlah 3 atau 5 yang pada puncaknya dilengkapi dengan mustoko.
b) Menara yang merupakan kesatuan
bangunan masjid islam yang menjadi tambahan. Menara ini berfungsi sebagai
tempat adzan.
c) Letak masjid selalu berdekatan
dengan alun-alun dan istana.
d) Memiliki denah berbentuk bujur
sangkar ditambah dengan lantai yang berbentuk punden berundak dan dilengkapi
serambi di depan maupun disamping.
2. Makam
Bangunan makam ini dilengkapi dengan kijing dan cungkup atau kubah
yang bertujuan untuk menghormati roh-roh orang yang dikuburkan. Kompleks
bangunan makam selalu menjadi satu dengan mesjid serta dikelilingi oleh tembok
dan memiliki gapura.
· Seni Kaligrafi
Penulisan huruf arab dalam seni kaligrafi dipadukan dengan seni
Jawa sehingga huruf Arab dipadukan dengan huruf Jawa Kuno. Seni kaligrafi
digunakan sebagai hiasan pada nisan makam, dinding rumah, pintu, keramik, dan
ukiran Jepara.
· Seni sastra
Seni sastra islam di Jawa yang muncul antara lain berupa hikayat,
dongeng, dan babad yang merupakan ceritera rakyat yang berisi persebaran agama
Islam.
· Filsafat dan Ajaran Islam
1) Tasawuf yang berisi ajaran dan
aliran agama Islam.
2) Qalam adalah ajaran pokok agama
islam yang berisi pelajaran tentang keesahan Tuhan yang menjadi dasar
kepercayaan (iman) mutlak bagi umat islam.
3) Fikih (Fiqh) adalah bagian
pokok agama islam yang mengatur kehidupan mayarakat Islam, baik secara lahir
maupun secara batin.
· Sistem penanggalan atau
kalender
Adanya sistem penanggalan Qamariah (islam) dengan perhitungan Jawa
sehingga sering disebut kalender Islam Kejawen.
· Sistem pertunjukan
1) Permainan debus merupakan suatu
jenis permainan yang disertai acrobat yang berbahaya seperti menusuk tubuh
tetapi tidak terluka.
2) Tari seudati merupakan tarian
khas Aceh. Ciri khas tarian ini adalah diiringi lagu tertentu yang berupa
Shalawat Nabi Muhammad saw.
3) Seni gamelan merupakan
pertunjukan music yang dilakukan untuk mengiringi upacara-upacara keagamaan
seperti, Sekaten dan Grebeg Maulid.
· Sistem Pemerintahan
Pada zaman hindu, pusat kekuasaan adalah raja sehingga raja
dianggap sebagai titisan dewa. Oleh karena itu muncul kultus “dewa raja”. Apa
yang dikatakan oleh raja adalah benar. Demikian juga pada zaman islam, pola
tersebut masih berlaku hanya dengan corak baru. Raja tetap sebagai penguasa
tunggal tetapi dianggap sebagai Khalifah, segala perintahnya harus dituruti.
(Dikutip dari http://hatijiwabertutur.blogspot.com/2013/01/islam-dan-akulturasi-budaya.html)