Sejarab Islam Di Pontianak
A. Sejarah Berdirinya Kota Pontianak
Syarif Abdurrahman Al-Kadri bin Sayid Al-habib Husein Al-kadri Jamalulail, yang kemudian terkenal dengan sebutan Sultan Sarif Abdurrahman lahir di kerajaan Matan (sekarang Ketapang). Ia dilahirkan hari senin tanggal 15 rabiul Awal pukul 10 sian tahun 1142 H/17729/1730 M. Anak kedua dari Al-Habib Husein, seorang penyebar Islam dariArab.
Sebagai seorang keluarga dilingkungan istana Sultan Ma’aziddin, Syarif Abdurrahman muda pun menikmati pendidikan dan pengetahuan yang cukup, Matan sebagai kerajaan kecil waktu itu, terletak dibagian ujung Selatan Kalimantan Barat merupakan salah satu pelabuhan dagang yang banyak disinggahi baik oleh para perdagangan dari Banjarmasin, Sumatra dan pantai utara pulau Jawa. Juga banyak disinggahi oleh para pedagang Cina maupun Belanda dan Inggris, Arab dan India. Kesibukan pelabuhan dagang ini memberikan kesempatan kepada pemuda Syarif Abdurrahman mempelajari seluk beluk kaum pedagang. Ia pun sering mendapat kesempatan ikut berlayar dengan perahu para pedagang. Kehidupan kerajaan Matan telah mendidik dan member bekal kedewasaan Syarif Abdurrahman tentang masalah kekuasaan di kerajaan dan masalah perdagangan sebagai salah satu sumber kehidupan pada masa itu.
Ketika Habib Husein berpindah dari negeri Matan ke negri Mempawah, tahun 1755, seluruh keluarganya dibawa pindah ke Mempawah. Habib Husein sengaja meminta permukiman baru yang berada di Kuala Mempawah dan dekat ke Laut. Ia ingin berhubungan dengan masyarakat yang berlalu lintas sambil berdagang sehingga penyebaran agama Islam akan lebih mudah berkembang keberbagai daerah. Pada waktu itu pusat kerajaan Mempawah dipimpin oleh Opu Daeng Menambun berada di Sebukit di Mempawah Hulu.
Pemukiman keluarga Habib Husein di Galah Herang yang sekaligus merupakan pusat pengajaran agama Islam, dalam waktu singkat telah ramai dikunjungi para pedagang dari berbagai daerah pesisir pantai Barat Kalimantan Barat ini telah mendorong Syarif Abdurrahman yang waktu itu masih berumur 18 tahun untuk ikut menelusuri kehidupan para pedagang disekitar Mempawah. Ketika berumur 22 tahun ia pergi ke Negri Banjar untuk berdagang.
Pada 11 Rabiul Akhir tahun 1185 H atau pada pertengahan tahun 1771, pangeran Syarif Abdurrahman kembali ke Mempawah dengan membawa Armada kapal layarnya serta kapal Tiang Sambung yang dipersenjatai dengan Meriam. Tiba di Mempawah, bari diketahuinya bahwa ayahandanya Habib HUsein Al-kadrie telah berpulang kerahmatullah. Kematiannya disebabkan pula sudah sangat rindu pada putra tersayangnya yang sudah lama pergi. Rakyat Mempawah sangat senang dengan kedatangan pangeran Syarif Abdurrahman . ia membagi-bagi beras, pakaian dan uang, hasil pengembaraannya selama beberapa tahun.
Semua saudara dan keluarganya mufakat untuk berlayar mencari tempat pemukiman yang dianggap tepat. Cita-cita ayahnya, Habib Husein untuk mencari tempat di negeri Timur di daerah yang subur dimana anak cucunya dapat hidup dengan baik, dilanjutkan oleh pangeran Syarif Abdurrahman.
Keinginan pangeran Syarif Abdurrahman untuk berlayar mencari pemukiman bari didukung pula oleh karena ia memiliki kapal yang cukup banyak dan kuat dan telah mempunyai modal dan barang dagangan yang cukup. Di antara anak buahnya adalah orang-orang Benggali asal kapal Perancis yang dikalahkannya.
Pada sore hari kedua JUmat 9 Rajab 1185, 18 oktober 1771 menyusuri sungai Kapuas, Pangeran Syarif Abdurrahman menemukan sebuah pulau di tengan sungai yang kemudian dinamakn pulau Batu Layang. Pada malam harinya rombongan 14 kapal penjajab mendapat gangguan. Menurut kisahnya, gangguan tersebut berasal dari para hantu yang mendiami Pulau Batu Layang dan daerah sekitarnya. Gangguan pada malam hari itu yang ditafsirkan sebagai hantu jahat, membuat takut anak buah perahu rombongan. Keesokan harinya mereka tidak meneruskan perjalanan, sambil memperhatikan situasi sekitarnya. Pada siang hari pun mereka ditakuti oleh suara-suara mengerikan. Malam berikutnya merekapun mendapatkan gangguan dari suara semacam hantu dan gangguan lainnya.
Karena selalu diganggu oleh hantu jahat yang disebut kuntilanak atau Pontianak sehingga untuk mengusirnya harus di tembak dengan meriam, maka tempat dimana Pangeran Syarif Abdurrahman membangun pemukiman baru disebutnya Pontianak.
Gangguan yang menakutkan itu sesungguhnya datang dari para perampok dan penjahat yang banyak terdapat diperairan sungai Kapuas dan sungai Landak. Mereka bersembunyi didaerah pertigaan pertemuan kedua sungai itu. Apabila ada perahu atau kapal datang yang melewati muara sungai Kapuas, mereka menyerang dan merampasnya dan kemudian lari bersembunyi dipedalaman sungai Kapuas dan sungai Landak.
Menjelang subuh 14 Rajab 1184 H atau 23 Oktober 1771, mereka sampai pada persimpangan sungai Kapuas dan sungai Landak. Selama 8 hari pertama pangeran Syarif Abdurrahman memimpin dan menebas hutan diujung delta sungai Kapuas dan sungai Landak. Pekerjaan satu minggu , mereka berhasil mendirikan rumah sederhana dan tempat beribadah di daerah itu. Dan kemudian tempat itu dinamakan Pontianak. Sementara pangeran Syarif Abdurrahman meneliti daerah sekitarnya yang ternyata sudah didiami oleh penduduk suku Dayak dan orang-orang Melayu disepanjang sungai Landak dan sungai Kapuas. Kedatangan rombongan Syarif Abdurrahman itupun menarik perhatian orang yang lalulintas didaerah itu.
Akhirnya pada tanggal 8 bulan sya’ban 1192 H, bertepatan dengan hari senin dengan dihadiri oleh Raja Muda Riau, raja Mempawah, Landak, Kubu dan Matan, Syarif Abdurrahman dinobatkan sebagai Sultan Pontianak dengan gelar Syarif Abdurrahman Ibnu Al-Habib Al-Kadrie.
Pada 1992 H, Syarif Abdurrahman dikukuhkan menjadi Sultan pada kesultanan Pontianak. Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinta Mesjid Jami’ Sultan Abdurrahman Al-Kadrie dan keratin Kadariah, yang sekarang terletak di Kelurahan dalam Bugis Kecamatan Pontianak Timur.
Dengan bantuan Sultan Pasir, Syarif Abdurrahman kemudian berhasil membajak kapal Belanda di dekat Bangka, juga kapal Inggris dan Perancis di Pelabuhan Passir. Abdurrahman menjadi seseorang kaya dan kemudian mencoba mendirikan pemukiman di sebuah pulau di Sungai Kapuas. Ia menemukan percabangan sungai Landak dan kemudian mengembangkan daerah itu menjadi pusat perdagangan yang makmur, dan Pontianak berdiri.
B. Masuknya Islam Di Pontianak
Di Kalimantan, Islam masuk melalui Pontianak yang disiarkan oleh Bangsawan Arab Bernama Sultan Syarif Abdurrahman pada abad ke-18. Di hulusungai Pawan, di Ketapang, Kalimantan Barat ditemukan Pemakaman Islam Kuno.
Masuknya Islam di Kalimantan ini juga tidak luput dari perjuangan ayahnya Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadrie yaitu Habib Husein Al-Qadrie.
Dalam perspektif yang berbeda kedatangan Islam ke Kalimantan Barat melalui kekuatan Ekonomi dan Perdagangan. Seperti didaerah-daerah lainnya di Nusantara. Islam disebarkan oleh pedagang-pedagang muslim dan da’i-da’I kelana, yang juga tertarik pada perdagangan atau semata-semata bertujuan menyebarkan Islam.
Di Mempawah Habib Husein Al-Qadrie sebelum Wafatnya pada tanggal 3 Dzulhizah 1184 H, beliau menikahkan putranya yang bernama Syarif Abdurrahman Al-Qadrie dengan putrid Raja Mempawah Utin Cendramidi. Ketika beliau berada di Banjar oleh Sultan Banjar diangkat menjadi pangeran Sayid Abdurrahman Nur Alam yang kemudian menjadi Raja Pontianak dengan gelar Sri Sultan Syarif Abdurrahman bin Habib Husein Al-Qadrie.
Umat Islam pada masa awal masuknya Islam yang dibawa oleh Syarf Husein bin Ahmad Al-Qadrie, penganut Islam masih sedikit. Tetapi, setelah berdirinya kerajaan Islam Pontianak pada tahun 1771 miladiyah, maka agama Islam menjadi agama yang mayoritas. Kesultanan Pontianak dengan Rajanya yang bernama Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadrie, yang menjadi salah seorang penyebar agama Islam di Kalimantan Barat.
Kehadiran kesultanan yang bercorak Islam membawa pengaruh yang besar terhadap perkembangan agama islam di Pontianak. Kesultanan Pontianak yang terletak dipinggir sungai Kapuas dengan Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadrie sebagai Sultannya menyebabkan Islam yang menjadi mayoritas dimana masyarakat di sekitar kesultanan Pontianak seperti, di Kamping Bansir, di Kampung Kapur, Kampung banjar Serasan dan Kampung Saigon sangat kental dengan pengaruh agama Islam. Di daerah Kampung Kapur terdapat seorang guru ngaji yang bernama Djafar yang pada jaman tersebut beliau adalah salahseorang yang termasyhu, Sultan Syarief Abdurrahman Al-Qadrie mengundang Djafar khusus untuk menjadi guru ngaji di lingkungan Keraton Kadariyah Pontianak. Hal ini membuktikan bahwa Islam pada masa itu sudah menyebarluas kewilayah Pontianak. Ustadz
Dza’far yang kelak menurunkan anak yang bernama Kurdi Djafar yang dikenal sebagai pendiri cabang Muhammadiyah di Sungai Bakau Kecil di Mempawah.
C. Bentuk-Bentuk Peradaban Islam Di Pontianak
1. Istana Kadariyah
Istana Qadariyah atau disebut Keraton Pontianak. Yang merupakan bangunan bentuk terakhir yang dibangun oleh Sultan Syarif Muhammad Al-Qadrie pada tahun 1923. Perubahan yang dilakukan oleh Sultan Syarif Muhammad terutama pada bagian depan atau tangga masuk istana. Sebelumnya tidak terdapat anjungan , bagian bertingkat dibagian atas tangga masuk Istana.
Syarif Abdurrahman melanjutkan perjalanan hingga kepersimpangan sungai Kapuas dan sungai Landak, membuka daerah selama delapan hari, lalu mendirikan rumah dan balai. Selang delapan tahun, ia dilantik menjadi Raja pertama dan bersamaan dengan itu berdiri pula Istana Kadariyah. Istana Kadariyah berdiri gagah di tepi sungai Kapuas, tempatnya diwilayah kampong dalam BUgis, dengan Ornamennya kental menyiratkan ciri kerajaan Islam. Selain cat warna kuning khas melayuterdapat banyak sekali pahatan bulan dan bintang yang menghiasi sisi Keraton. Logo ini bisa dilihatkan tertera dipintu masuk dan dinding kayu, serta dibendera kebesran yang berkibar dihalaman Istana. Ruang Istana yang didominasi warna kuning. Singgasana Raja yang berwarna ke Emasan berdiri kokoh dikelilingi photo para pembesar kerajaan dan beberapa aksesoris seperti jam duduk tua dan guci-cuci keramik. Tampak pula sebuah cermin antik dari Perancis yang dinamakan “Kaca Seribu”. Ruangan ini masih menyiratkan aura kegagahannya sebagai tempat para petinggi mengambil keputusan, layaknya ruang ival digedung putih.
Lantainya masih papan kayu berlian (Kayu Ulin) yang terkenal akan kekuatannya. Jika masih masyarakat dengan kayu jatinya,masyarakat Kalimantan kagum dengan kayu berliannya. Kayu ini dikenal memilikinkekuatan luar biasa, bahkan gergaji biasapun tak akan memasuki memotong batangnya. Pasti kita juga tak akan menemukan ukirkan indah berbahan kayu berlian.konon, jikadirendam didalam air bertaun-tahun kayu berlian akan awet selama puluhan tahun bahkan ratusan tahun.
Keraton Kadariyah merupakan salah satu bentuk peradaban islam di Pontianak, yang maana hal ini didukung dengan sumber-sumber yang diperoleh yang menyatakan bahwa awal berdirinya Keraton Kadariyah bersama dengan berdirinya kota Pontianak yaitu pada tahun 1771 miladiyah. Jadi Keraton qadariyah merupakan suatu peradaban pertama yang yang melambangkan bahwa Islam sudah berkembang di Pontianak pada masa itu yang diperkenlkan oleh Sultan Syarif Abdirrahman Al-Qadrie byang pada masa itu sebelum ia mengenalkan ajaran Islam dan menetap di Pontianak, ia sudah lebih dahulu menetap dikerajaan Mempawah.
2. Masjid Jami’
Pendiri Masjid Jami’ sekaligus pendiri kota Pontianak adalah Syarif Abdurrahman Al-Qadrie. Ia seorang keturunan Arab, anak Al-Habib Husein, seorang penyebar Agama Islam dari Jawa. Al-habib Husein ke kerajaan Matan pada 1733 M. Al-Habib Husein menikah dengan putri Raja Matan (kini Kabupaten Ketapang) SultanKamaludin, bernama Nyai Tua. Dari pernikahan itu lahirlah Syarif Abdurrahman Al-Qadrie, yang meneruskan jejak ayahnya menyiarkan agama Islam.
Masjid yang dibangun aslinya beratap Rumbia dan konstruksinya dari kayu. Syarif Abdurrahman meninggal pada tahun 1808 Masehi. Ia memiliki putra bernama Syarif Usman, saat ayahnya meninggal, ia masih berusia kanak-kanak, sehingga belum bisa meneruskan pemerintahan ayahnya. Maka pemerintah semntara dipegang adik Syarif Abdurrahman, bernama Syarif Kasim. Setelah Syarif Usman dewasa, dia menggantikan pamannya sebagai Sultan Pontianak, pada 1822-1855 M. Pembangunan masjid kemudian dilanjutkan Syarif Usman,dan dinamakan sebagai masjid Abdurrahman, sebagai penghormatan dan untuk mengenang jasa-jasa ayahnya. Beberapa ulama terkenal pernah mengajarkan agama Islam di masjid Jami Sultan Abdurrahman. Mereka di antaranya Muhammad Al-Kadri, Habib Abdullah Zawawi, Syekh Zawawi, Syekh Madani, H Ismail Jabbar, dan H. Ismail Kelantan.
Masjid Jami’ Pontianak dapat menampung sekitar 1.500 jamaah shalat. Masjid akan penuh terisi jamaah shalat, saat waktu shalat JUm’at dan Tarawih Ramadhan.
Jika melihat ke dalam bagian masjid, terdapat enam plar dari kayu berlian berdiameter setengah meter. Dua pelukan tangan orang dewasa tak akan mampu mencapai lingkaran pilar. Selain pilar bundar, juga ada enam tiang penyangga lainnya yang menjulang ke langit-langit masjid, terbentuk bujur sangkar. Mesjid Jami juga memiliki mimbar tempat Khutbah yang unik mirip geladak kapal. Pada sisi kiri dan kanan mimbar terdapat kaligrafi yang ditulis pada kayu plafon. Hampir 90 persen konstruksinya bangunan masjid terbuat dari kayu berlian . atapnya yang semula dari Rumbia,kini menggunakan sirap, potongan berlian berukuran tipis. Atapnya bertingkar empat. Pada tingkat kedua, terdapat jendela-jendela kaca berukuran kecil sementara di bagian paling atas, atapnya mirip kuncup bunga atau stupa. Jendela yang berjejeran dengan pintu masuk, berukuran besar-besar, juga dari kaca tembus pandang. Adapula kaca yang berwarna merah dan kuning. Jarak antara lantai masjid dengan tanah, sekira 50 cm.
3. Makam Batu Layang
Makam batu laying juga biasa disebut tanam makam dar kerajaan Pontianak, mulai darikerajaan pertama Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadrie hingga raja terakhir Sultan Hamid II serta beberapa keluarga Raja. Tempat ini biasanya ramai dikunjungi khususnya pada hari besar Islam. Makam ini terletak kurang lebih dua km dari tugu Katulistiwa yang dapat dikunjungi dengan menggunakan transportasi darat maupun air.
Dan Makam Batu laying juga dapat dikatakan salah satu bentuk peradaban Islam di Pontianak mungkin dikarenakan tempat ini merupakan tempat dimana pahlawan agama Islam di makam dan mereka meupakan penyebaran agama Islam sehinggan agama Islam berkembang pada masa itu hingga sekarang menjadi agama yang mayoritas sehingga tempat makam Batu Layang ini diajdikan tempat atau sebagai bentuk peradaban Iislam dikota Pontianak.dan Makam ini juga menjadi pertanda kalau di Pontianak pernah ada orang orang yang memang berjasa dalam menyebarkan Islam dikota Pontianak, sehingga menjadi salah satu bentuk peradaban Islam di Pontianak.
4. Bidang Pendidikan
Perkembangan berikutnya lahir bebrbagai organisasi Islam yang menjalankan pendidikan Islam pada beberapa sekolah maupun yayasan di Pintianak, antara lain:
1. Yayasan pendidikan Bawari
2. Yayasan pendidikan Islamiyah
3. Yayasan pendidikan bawamai
4. Yayasan pendidikan Muhammadiyah
Ulama yang sangat berperan penting dalam membentuk dan mengembangkan pendidikan Islam di era-era tahun 60-80 di Pontianak diantaranya adalah:
1. Haji Ismail bin Abdul Karim Alias Ismail Mundu (Mufti kerajaan Kubu)
2. Syech Abdullah Zawawi (Mufti Kerajaan Pontianak)
3. Syech Sarwani
4. Habib Muksin Alhinduan (Tharekat Naqsyabandiyah)
5. Syech H Abdurani Mahmud (Ahli Hisab)
6. Habib Saleh Alhaddat
7. Haji Abdus Syukur Badri alias Haji Muklis
8. Haji Ibrahim Basyir alias Wak Guru
Sumber : http://arifnasah.blogspot.com/2012/10/sejarah-islam-di-pontianak.html
No comments:
Post a Comment